Oleh: Christine
Foto: Christine, 2008, MOL Selai Belimbing Wuluh
Tanam-menanam sebenernya adalah hobby lama yang sudah jarang kulalukan. Berkenalan dengan Pak Sobirin pemilik blog “sampah diolah menjadi berkah” seakan-akan membangkitkannya kembali. Apalagi Pak Sob selalu menghadirkan sesuatu yang baru, yang membuatku penasaran ingin mencobanya.
Tanam-menanam sebenernya adalah hobby lamaku. Sejak kecil aku sudah terbiasa melihat ayahku berkebun. Rumah orang tuaku memiliki halaman yang cukup luas. Ada bermacam-macam tanaman disana: durian, rambutan, pepaya, pisang, delima, belimbing, bougenville berbagai warna, macam-macam mawar, dan beberapa tanaman hias yang aku tidak tahu namanya.
Waktu masih kecil, aku dan kakakku suka membeli benih di pasar dan ditanam di halaman rumah. Kami pernah menanam timun, semangka, tomat sayur, tomat ceri, dan singkong. Tapi waktu itu kami hanya sekedar menanam saja, tanpa perawatan khusus seperti pemberian pupuk dan pengendalian hama. Paling-paling hanya disiram air setiap hari. Kalo berbuah pengennya terus diambil, langsung dimakan atau buat main masak-masakan (pasaran). He.he.he…. jadi geli sendiri kalo inget jaman masih kecil. Rumahku itu mungkin lebih mirip dengan “pertanian mini” karena kami juga memelihara ayam kampung, ayam kate, burung perkutut, dan angsa!
Mulai SMA aku meninggalkan “my hometown”, dan kegiatan tanam-menanam itu sedikit demi sedikit aku tinggalkan juga hingga akhirnya aku pindah ke Semarang. Rumahku yang sekarang tidak ada halamannya, 'gersang'. Aku berusaha menghijaukannya dengan menanam beberapa tanaman seperti mawar (my favorite flower), melati, anggrek, sirih, pandan, cabe, dan beberapa tanaman hias. Semuanya aku tanam di pot dan diletakkan di teras rumah. Beruntung, di depan rumah ada pohon mangga yang ditanam oleh pemilik sebelumnya sehingga bisa menambah "adem".
Berkenalan dengan Pak Sobirin pemilik blog “sampah diolah menjadi berkah” seakan-akan membangkitkan hobby lamaku. Apalagi Pak Sob selalu menghadirkan sesuatu yang baru, yang membuatku penasaran ingin mencobanya.
Biasanya sebelum mencoba atau jika ada sesuatu yang masih belum jelas bener, aku minta penjelasan lagi ke Pak Sob lewat shout-box atau e-mail, dan Pak Sob yang baik hati ini selalu bersedia menjelaskan lagi hingga sejelas-jelasnya seperti ketika aku bertanya tentang MOL tapai+nanas, padi dalam pot, dan kompos di kebun kosong berikut ini.
Xtine: Pak, dengan penemuan MOL tapai campur nanas saya jadi bertanya-tanya, unsur apa sih sebenarnya yang bisa mengubah suatu bahan menjadi MOL? Kayanya kok semua bahan bisa ya?
Sob: Dongeng awamnya begini...bahan organik (semisal buah nenas, dan sejenisnya) ditambah gula atau air kelapa, kemudian “diperam” atau ”diragikan”, akan memunculkan jasad renik atau mikro organisme, yang hanya bisa dilihat dengan mikroskop. Semua bahan bisa, tetapi suatu bahan akan menghasilkan jasad renik yang berbeda dengan bahan yang lain.
Kalau bahannya tidak bersih, jasad reniknya juga tidak bersih. Oleh sebab itu, bila bahan untuk MOL ini sembarangan, misalnya dari sampah dapur, maka akan muncul berbagai jasad renik yang tidak kita harapkan.
Jasad renik ini ada yang dari kelompok pengurai: jenis bakteri dan jamur yang mampu mengurai senyawa organik menjadi senyawa atau unsur lain yang lebih sederhana.
Kemudian ada kelompok patogen: penyebab penyakit: jenis bakteri, jamur, virus, protozoa penyebab penyakit perut, kulit, pernapasan.
Lalu kelompok penghasil racun: jenis bakteri dan jamur penyebab keracunan air atau bahan makanan.
Juga ada kelompok pencemar: jika bahan kompos terkena kotoran manusia/hewan sakit, atau tercampur lumpur/air yang tercemar deterjen atau bahan kimia berbahaya.
Dalam proses pengomposan, setelah MOL disiramkan ke bahan kompos, maka akan terjadi panas (proses termofilik), biasanya jasad renik kelompok patogen mati.
Jasad renik yang dijual dipasaran, biasanya sudah dipilih beberapa jenis saja, yang dianggap perlu-perlu saja untuk tanaman. Makanya mahal, tetapi kadang hanya cocok untuk sesuatu tanaman, dan tidak cocok untuk tanaman yang lainnya.
Yang kita sedang buat, karena bahannya bersih, diharapkan jasad reniknya juga bersih, hanya jasad renik jenis apa saja yang ada dalam MOL kita, bila kita ingin tahu, maka perlu dicheck di laboratorium. Jasad renik kita namanya juga MOL pakai huruf L yaitu LOKAL, buatan sendiri, yang penting ada hasilnya dan dalam rangka menuju Zero Waste.
Xtine: Saya punya selai nanas, selai dan sirup belimbing wuluh cukup banyak, tidak termakan dan sayang kalau dibuang (hasil praktek yang gagal....). Apa bisa dibuat MOL? Yang belimbing wuluh rasanya masih asam. Kalau bisa, apakah prosesnya sama dengan membuat MOL tapai?
Sob: Bisa, apalagi kalau bahan tersebut tidak pakai bahan kimia. Prosesnya sama. Pilih pakai tambah gula lagi atau air kelapa. MOL akan berproses sekitar 4 atau 5 hari, baru bisa kita manfaatkan.
Xtine: Kalo buah-buahan yang sudah layu karena kelamaan di kulkas (tapi belum busuk) apa bisa untuk MOL juga? Harus diblender atau cukup dipotong2 saja?
Sob: Bisa...diblender saja.
Xtine: Satu lagi Pak... Lihat tanaman padi Bapak, saya tuh jadi kepengen banget tanam padi di pot tapi tdk punya benihnya. Eh, tadi pagi waktu cuci beras saya nemu sebutir gabah, cuma satu-satunya dalam sekilo beras..... Iseng-iseng saya tanam dalam pot semai, kira-kira bisa tumbuh tidak ya pak? Biasanya muncul daunnya berapa hari?
Sob: Moga-moga mau tumbuh. Biasanya 8 (delapan) hari baru berkecambah dengan dua daun kecil-kecil berwarna hijau muda. Ambil pakai pinset, hati-hati, lalu “letakkan” diatas tanah campur kompos dalam pot yang sudah disiapkan. Jangan ditanam “dalam-dalam”, cukup diletakkan saja. Begini ya....butir padi dalam beras yang dikilo, sudah melalui proses penggilingan, jadi benih ini sudah terkena goncangan-goncangan mesin giling. Tetapi moga-moga saja benih ini masih “hidup”. Coba saja sekali-sekali main ke sawah di luar kota, minta benih ke petani. Atau minta saja di Balai Penelitian Padi setempat.
Xtine: Oya Pak, kayanya dulu Bapak pernah menulis tentang kompos di kebun kosong....? Bagaimana hasilnya? Sudah dipanen?
Sob: Ini yang saya gagal.... Maksud saya supaya diurus oleh warga kampung/RT. Tahunya tidak ada yang tanggung jawab dalam memberi MOL dan proses aduk-mengaduk. Ternyata kalau kita ingin mengembangkan perkomposan dalam skala yang RT, perlu semacam “capacity building” bagi kelompok warga. Di skala rumah tangga saja perlu ada orang yang bertanggung jawab, apalagi di skala yang lebih besar. Jadinya kompos kebun menjadi “monumen” yang kemudian ditumbuhi rumput dan tanaman liar………
Xtine: Terima kasih, Christine
Sob: Terimakasih kembali, Sobirin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar