Selasa, Maret 25, 2008

Komposter Dadakan

Oleh: Christine
Foto: Christine, 2008, Komposter Kolam Ikan


Pengalaman berkompos telah mengubah cara pandangku terhadap sampah organik. Bagiku sampah organik tidak lagi terlihat sebagai “sampah” tapi sebagai “bahan kompos”.



Di RT-ku, selain lapangan RT, juga terdapat tanah kosong yang cukup luas. Separoh tanah dibuat lapangan voli, separohnya lagi sedang dirintis dijadikan ladang lidah buaya dan sansiveira, untuk kegiatan Rumah Pintar.

Sebelum bulan puasa tahun 2007 lalu, setiap sore selalu ada warga RT-ku dan RT lain yang bermain voli. Selama bulan puasa, kegiatan voli berhenti. Karena lama tidak dipakai, lapangan voli tanpa semen inipun mulai ditumbuhi rumput liar, Apalagi setelah itu musim hujan tiba. Rumput liar jadi semakin subur dan lama-kelamaan seluruh lapangan voli tertutup rumput.

20 Maret 2008, warga RT melakukan kerja bakti. Kami membersihkan rumput di lapangan RT dan lapangan voli. Lapangan RT sendiri berupa lapangan badminton dari paving yang ditumbuhi rumput liar juga. Rumput-rumput liar ini kemudian dipotong dengan mesin pemotong rumput. Walaupun belum sampai ke lapangan voli, baru di pinggirnya saja, sampah potongan rumputnya sudah banyak sekali!

Sambil ikut mencabuti rumput-rumput kecil, iseng-iseng aku ngomong sama Bu RT: “Bu, andai saja kita punya tempat pengomposan, kita bisa olah sampah rumput ini”. Dan diluar dugaan, Bu RT-ku langsung ‘connect’, dia bilang “Ayo, dibuat kompos saja. Itu ada bak besar bekas kolam ikan bisa dipakai”. Kami memang punya bak ukuran 2m X 1m X 1m. Awalnya mau dibuat kolam ikan, tapi entah kenapa, bocor terus walaupun sudah berkali-kali ditambal.

Langsung mendapat respon dari Bu RT aku sempat bingung, soalnya baknya tertutup, hanya ada satu lubang kecil dibawah. Tapi setelah dipikir-pikir dan berdiskusi dengan beberapa ibu….., ah, kenapa tidak dicoba saja? Kan bagian atasnya terbuka, nanti bisa diberi tutup yang berlubang kecil-kecil untuk sirkulasi udara. Lagipula, bak itu terletak dibawah pohon pace (mengkudu) yang cukup rimbun sehingga cukup terlindung dari sinar matahari dan hujan. Untuk tutup kami menggunakan anyaman bambu, seperti pagar bambu tapi anyamannya lebih rapat.

Potongan-potongan rumput langsung dimasukkan saja ke dalam bak. Kami tidak sempat mencacahnya karena hari sudah siang dan banyak warga yang pulang untuk keperluan lain. Selain itu peralatan yang ada juga tidak memadai untuk mencacah rumput yang begitu banyak. Setelah itu rumput aku siram pakai MOL tapai pekat, tanpa diencerkan. Pengadukan agak sulit dilakukan karena rumputnya masih panjang-panjang dan jumlahnya banyak.

Sebenernya, walaupun sudah mendapat dukungan dari Bu RT, aku agak dag-dig-dug juga, takut kalau pengomposannya tidak berhasil dan malah diprotes. Soalnya di RT-ku belum semua orang “sadar berkompos”, hanya segelintir saja. Mereka lebih nyaman bembuang/membakar sampah organik daripada mengolahnya menjadi kompos.

Buat para pembaca, minta sarannya dong, bagaimana sebaiknya untuk kondisi pengomposan seperti ini. Kalau pengomposan ini berhasil, diharapkan akan bertambah lagi warga yang “sadar berkompos”.

1 komentar:

omyosa mengatakan...

MARI KITA BUAT PETANI TERSENYUM KETIKA DATANG PANEN
Petani kita sudah terlanjur memiliki mainset bahwa untuk menghasilkan produk-produk pertanian berarti harus gunakan pupuk dan pestisida kimia. NPK yang terdiri dari Urea, TSP dan KCL serta pestisida kimia pengendali hama sudah merupakan kebutuhan rutin para petani kita.
Produk ini dikenalkan oleh pemerintah saat itu sejak tahun 1969 karena berdasarkan penelitin bahwa tanah kita yang sangat subur ini ternyata kekurangan unsur hara makro (NPK). Setelah +/- 5 tahun dikenalkan dan terlihat peningkatan hasilnya, maka barulah para petani mengikuti cara tanam yang dianjurkan pemerintah tersebut. Produk hasil pertanian mencapai puncaknya pada tahun 1985-an pada saat Indonesia swasembada pangan. Petani kita selanjutnya secara turun temurun beranggapan bahwa yang meningkatkan produksi pertanian mereka adalah Urea, TSP dan KCL, mereka lupa bahwa tanah kita juga butuh unsur hara mikro yang pada umumnya terdapat dalam pupuk kandang atau pupuk hijau yang ada disekitar kita, sementara yang ditambahkan pada setiap awal musim tanam adalah unsur hara makro NPK saja ditambah dengan pengendali hama kimia.
Mereka para petani juga lupa, bahwa penggunaan pupuk dan pengendali hama kimia yang tidak terkendali, sangat merusak lingkungan dan terutama tanah pertanian mereka semakin tidak subur, semakin keras dan hasilnya dari tahun ketahun terus menurun.
Tawaran solusi terbaik untuk para petani Indonesia agar mereka bisa tersenyum ketika panen, maka tidak ada jalan lain, perbaiki sistem pertanian mereka, ubah cara bertani mereka, mari kita kembali kealam.
System of Rice Intensification (SRI) yang sedang digencarkan oleh SBY adalah cara bertani yang ramah lingkungan, kembali kealam, menghasilkan produk yang terbebas dari unsur-unsur kimia berbahaya, kuantitas dan kualitas hasil juga lebih baik, belum mendapat respon positif dari para petani kita, karena walaupun hasilnya sangat menjanjikan, tetapi sangat merepotkan petani dalam budidayanya.
Petani kita karena sudah terlanjur termanjakan oleh system olah lahan yang praktis dengan menggunakan pupuk dan pestisida kimia, sangat berat menerima metoda SRI ini. Mungkin tunggu 5 tahun lagi setelah melihat petani tetangganya berhasil menerapkan metode tersebut.
Atau mungkin solusi yang lebih praktis ini dapat diterima oleh para petani kita; yaitu “BERTANI DENGAN POLA GABUNGAN SISTEM SRI DIPADUKAN DENGAN PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK NASA”. Cara gabungan ini hasilnya tetap PADI ORGANIK yang ramah lingkungan seperti yang dikehendaki oleh pola SRI, tetapi cara pengolahan lahan/tanah sawahnya lebih praktis, dan hasilnya bisa meningkat 60% — 200% dibanding pola tanam sekarang.
Semoga petani kita bisa tersenyum ketika datang musim panen.
AYOOO PARA PETANI DAN SIAPA SAJA YANG PEDULI PETANI, SIAPA YANG AKAN MEMULAI? KALAU TIDAK KITA SIAPA LAGI? KALAU BUKAN SEKARANG KAPAN LAGI?
omyosa,
papa_260001527@yahoo.co.id