Oleh: Christine
Foto: Christine, 2008, Drip Irrigation
Menjadi petani itu tidak gampang. Hal ini sudah kualami sendiri dari pengalamanku menanam padi di pot dan menggarap sepetak tanah.
Aku dan beberapa tetanggaku sedang mencoba menggarap “lahan tidur” yang ada di sekitar lapangan RT. Sebetulnya, pemanfaatan lahan tidur ini merupakan program Rumah Pintar untuk kegiatan ibu-ibu; tapi ternyata tidak mendapat respon yang baik. Mereka menganggap kegiatan ini tidak ada gunanya, dan hanya buang-buang waktu saja.
Kemudian Bu RT mengajak ibu-ibu yang mau saja untuk menanam di lahan tidur ini. Ada 4 orang ibu yang bersedia, termasuk aku. Kami hanya merasa sayang saja, sudah mengeluarkan uang untuk jasa mencangkul membuat bedengan-bedengan kok sekarang tidak diolah (dulunya tanah ini ditumbuhi rumput liar) .
Sebagian besar lahan ditanami lidah buaya dan sanseviera. Masih ada sisa dua petak kecil lahan kami tanami kangkung, terong, kacang hijau, dan kenikir. Lidah buaya, sanseviera, dan kangkung mulai ditanam sejak bulan Februari- awal Maret 2008 ketika masih banyak turun hujan. Terong dan yang lainnya ditanam akhir Maret 2008 saat hujan sudah jarang turun.
Ternyata menanam di ladang itu sulit, apalagi jenis tanahnya tanah liat. Kalo habis hujan tanah jadi licin dan lengket banget tapi kalo kering jadi keras banget dan retak-retak. Agar mudah ditanami dan dicangkul, tanah mesti lebab-lembah saja. Masalahnya adalah di sekitar lahan tidak ada sungai atau kolam sehingga kami kesulitan dalam menyiram. Terpaksa kami membawa air dari rumah dengan menggunakan ember. Walaupun jarak ladang dengan lokasi rumah tidak jauh, sekitar 100 meter, tapi kalau mesti dilakukan setiap hari ya capek juga.
Akhirnya penyiraman dilakukan seperlunya saja. Kalau tanahnya sudah kelihatan kering sekali baru disiram. Lalu aku cari-cari informasi di internet tentang cara menyiram tanaman yang efektif dan tidak “merepotkan”. Aku menemukan sebuah “alat penyiram” sederhana berbahan botol plastik bekas. Tutup botol dilubangi – kecil saja, botol diisi air hingga penuh, lalu botol "ditanam" di dekat pohon dengan posisi terbalik. Air yang ada dalam botol akan menetes membasahi daerah di sekitar tanaman. Belakangan aku tahu dari Pak Sobirin, cara penyiraman seperti ini namanya “drip irrigation” yang digunakan di NTT dan Negara-negara yang sulit air. Kata Pak Sob juga, jika diterapkan dalam pertanian yang sesungguhnya, ongkos produksi akan lebih besar dari hasil panen.
Aku tetap menggunakan cara ini dalam “pertanian mini” kami. Tentu saja aku tidak mau keluar uang untuk membeli “alat penyiramnya”. Aku manfaatkan saja kotak-kotak susu UHT ukuran 1 liter yang selalu tersedia di rumahku. Bagian dasar kotak dilubangi pake paku kecil, cukup satu lubang saja. Airnya akan habis dalam setengah hari. Pengisisan air tergantung cuaca, kalo panas ya setiap hari, tapi kalau mendung bisa diganti 2-3 hari sekali.
Cara ini kelihatannya cukup efektif, hingga hari ini tanaman dapat tumbuh dengan baik dan tidak kekeringan. Selain itu, membawa air dalam kotak susu jauh lebih mudah daripada dalam ember. Selain diisi air ledeng, kotak susu kadang juga diisi dengan MOL encer sebagai pupuknya.
Harapan kami, semoga saja dengan cara dan kemampuan yang seadanya “lahan tidur” dapat berubah menjadi lahan produktif.
Foto: Christine, 2008, Drip Irrigation
Menjadi petani itu tidak gampang. Hal ini sudah kualami sendiri dari pengalamanku menanam padi di pot dan menggarap sepetak tanah.
Aku dan beberapa tetanggaku sedang mencoba menggarap “lahan tidur” yang ada di sekitar lapangan RT. Sebetulnya, pemanfaatan lahan tidur ini merupakan program Rumah Pintar untuk kegiatan ibu-ibu; tapi ternyata tidak mendapat respon yang baik. Mereka menganggap kegiatan ini tidak ada gunanya, dan hanya buang-buang waktu saja.
Kemudian Bu RT mengajak ibu-ibu yang mau saja untuk menanam di lahan tidur ini. Ada 4 orang ibu yang bersedia, termasuk aku. Kami hanya merasa sayang saja, sudah mengeluarkan uang untuk jasa mencangkul membuat bedengan-bedengan kok sekarang tidak diolah (dulunya tanah ini ditumbuhi rumput liar) .
Sebagian besar lahan ditanami lidah buaya dan sanseviera. Masih ada sisa dua petak kecil lahan kami tanami kangkung, terong, kacang hijau, dan kenikir. Lidah buaya, sanseviera, dan kangkung mulai ditanam sejak bulan Februari- awal Maret 2008 ketika masih banyak turun hujan. Terong dan yang lainnya ditanam akhir Maret 2008 saat hujan sudah jarang turun.
Ternyata menanam di ladang itu sulit, apalagi jenis tanahnya tanah liat. Kalo habis hujan tanah jadi licin dan lengket banget tapi kalo kering jadi keras banget dan retak-retak. Agar mudah ditanami dan dicangkul, tanah mesti lebab-lembah saja. Masalahnya adalah di sekitar lahan tidak ada sungai atau kolam sehingga kami kesulitan dalam menyiram. Terpaksa kami membawa air dari rumah dengan menggunakan ember. Walaupun jarak ladang dengan lokasi rumah tidak jauh, sekitar 100 meter, tapi kalau mesti dilakukan setiap hari ya capek juga.
Akhirnya penyiraman dilakukan seperlunya saja. Kalau tanahnya sudah kelihatan kering sekali baru disiram. Lalu aku cari-cari informasi di internet tentang cara menyiram tanaman yang efektif dan tidak “merepotkan”. Aku menemukan sebuah “alat penyiram” sederhana berbahan botol plastik bekas. Tutup botol dilubangi – kecil saja, botol diisi air hingga penuh, lalu botol "ditanam" di dekat pohon dengan posisi terbalik. Air yang ada dalam botol akan menetes membasahi daerah di sekitar tanaman. Belakangan aku tahu dari Pak Sobirin, cara penyiraman seperti ini namanya “drip irrigation” yang digunakan di NTT dan Negara-negara yang sulit air. Kata Pak Sob juga, jika diterapkan dalam pertanian yang sesungguhnya, ongkos produksi akan lebih besar dari hasil panen.
Aku tetap menggunakan cara ini dalam “pertanian mini” kami. Tentu saja aku tidak mau keluar uang untuk membeli “alat penyiramnya”. Aku manfaatkan saja kotak-kotak susu UHT ukuran 1 liter yang selalu tersedia di rumahku. Bagian dasar kotak dilubangi pake paku kecil, cukup satu lubang saja. Airnya akan habis dalam setengah hari. Pengisisan air tergantung cuaca, kalo panas ya setiap hari, tapi kalau mendung bisa diganti 2-3 hari sekali.
Cara ini kelihatannya cukup efektif, hingga hari ini tanaman dapat tumbuh dengan baik dan tidak kekeringan. Selain itu, membawa air dalam kotak susu jauh lebih mudah daripada dalam ember. Selain diisi air ledeng, kotak susu kadang juga diisi dengan MOL encer sebagai pupuknya.
Harapan kami, semoga saja dengan cara dan kemampuan yang seadanya “lahan tidur” dapat berubah menjadi lahan produktif.
2 komentar:
Sayang ya mbak, bayangkan andai semua rumah tangga mau mengelola sampah dapur jd kompos, menanam sendiri sayur, menggarap lahan terbengkalai, rasanya indonesia ga perlu terlalu kuatir dgn gisi buruk atau ancaman kelaparan (sy berangan2 nih).Tiap hr sy sdh mulai konsumsi kangkung segar dari pot. Sehat krn organik, dan hemat ga perlu beli.
Christine, kalau aku yang tingal di PNG ya di-siasati dengan kompos. Kebayang kan tanahnya lempung dan pecahan karang, kalau kena air ya basah, kalau sudah kering sedikit saja sekeras batu. Tak ada atau jarang ada cacing. Lama-lama tanahnya jadi berubah strukturnya. Pohonnya okeee.. mau sih kasih MOL tapi koq ya pakai gulanya banyakkk hahaha.. ngirit aja lahh pakai kompos.
Posting Komentar